5.23.2009

Ponari, Peringatan Dini Bagi Kekuasaan

Cerita Ponari dan batu ajaibnya telah menarik perhatian banyak rakyat Indonesia. Siapa yang tidak tahu Ponari? Sampai kemarin muncul asumsi dari para kyai ketika berkumpul di Kediri menyatakan bahwa memberitakan Ponari saja kategorinya haram

Ribuan, bahkan puluhan ribu berita dan wacana sudah tertulis mengenai Ponari, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di panca benua. Ketik “Ponari Indonesia” di mesin pencari Google, kita akan menemukan 634.000 situs. Rano Karno saja hanya mendapatkan 145.000 situs. Tidak perlu saya ulang lagi ratusan cerita mengenai Ponari.
Akan tetapi, kepopuleran dukun cilik Ponari merupakan sebuah peringatan akan keputusasaan rakyat miskin terhadap sistem pelayanan kesehatan kita. Putus asa bukan karena dokternya bodoh (walau tak sedikit dokter dan suster yang kurang terlatih karena sistem pendidikan kita yang tak terurus). Putus asa karena memang tidak mampu pergi ke dokter sama sekali. Inilah mengapa puluhan ribu rakyat berbondong-bondong mencari air ajaibnya Ponari, berdesak-desakan hingga ada yang meninggal terinjak-injak.

Ulama-ulama pun antri untuk mengutuk dukun cilik Ponari sebagai aliran sesat. Para ahli kesehatan mengelus dada melihat bodohnya rakyat, lalu kembali lagi ke kesibukannya melayani mereka yang bisa membayar. Kaum liberal-moralis bangun dari kursi mereka, hatinya terpukul oleh bocah cilik Ponari yang disalahgunakan oleh keluarganya untuk keuntungan finansial, lalu kembali duduk di kursi empuk mereka meratapi kejamnya dunia. Pengamat-pengamat di televisi dan koran berebut bersaing untuk menganalisa “fenomena” ini. Petugas-petugas pemerintah ingin menutup praktek ilegal ini demi ketertiban, satu ancaman yang kosong bila sudah kena ciprat. Para kapitalis kelabakan harga saham mereka turun, dan kawatir kalau mereka harus menjual satu dari sekian banyak mobil dan rumah mewah mereka. Para politisi sibuk dengan pemilihan umum.

Ini semua bukan karena rakyat bodoh dan mudah ditipu oleh cerita-cerita mujizat. Mereka-mereka yang terpelajar dengan sinis berkata, “Rakyat kita bodoh, makanya mereka tetap miskin”. Apakah rakyat miskin karena mereka bodoh? Atau mereka bodoh karena miskin dan tak punya uang untuk pergi ke sekolah yang mahal? Kepercayaan terhadap tahayul adalah suatu ekspresi dari kondisi objektif di dalam suatu masyarakat. Kemelaratan, kemiskinan, dan keputusasaan yang timbul darinya adalah ladang yang subur untuk cerita-cerita tahayul seperti Ponari ini.

Cerita Ponari adalah satu potret dari sekian banyak potret yang bila kita susun akan menunjukkan satu cerita yang pahit: kemiskinan di tengah kekayaan yang berlimpah. Umat manusia sudah bisa mengirim orang ke bulan 40 tahun yang lalu, tetapi mayoritas rakyat masih harus “terpaksa” (atau “dipaksa”) percaya tahayul untuk meringankan kesengsaraan mereka, biarpun ilusi ini hanyalah sesaat. Dengan kekayaan yang berlimpah, sebuah pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyat Indonesia adalah satu hal yang seharusnya bisa dicapai.

Ponari yang lain akan selalu lahir. Mungkin kali ini dengan kayu ajaib atau kain sakti. Tetapi untuk setiap cerita Ponari lainnya, ada puluhan, bahkan ribuan, cerita kepahlawanan seorang buruh yang bangkit melawan bosnya, cerita seorang petani yang menolak penindasan tuan tanah, atau cerita seorang pemuda yang tersambar oleh puisinya Thukul atau tulisan-tulisan Marx dan lalu menyingsingkan lengan bajunya untuk berjuang dengan rakyatnya. Cerita Ponari adalah sebuah peringatan bagi yang berkuasa bahwa zaman akan berubah. Ribuan rakyat yang sekarang berbondong-bondong ke praktik Ponari di satu hari akan berbondong-bondong, ratusan kali lipat, mendatangi istana presiden untuk mengubah nasib mereka. Yang putus asa menjadi berpengharapan, yang letih menjadi bersemangat, dan lalu kita tidak perlu lagi Ponari-Ponari di masyarakat kita. Sumber : mediabersama.com